Kamis, 10 Mei 2012

Di susun oleh : Ahmad Hamim Tohari : C71211166 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARI’AH / JURUSAN AHWAL AS – SYAKHSIYAH (D) SURABAYA 2012 KATA PENGANTAR Alhamdulillah tidak lupa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan tugas makalah Hukum Perdata Islam ini. Dalam proses pengumpulan data-data dan juga proses pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan Ibu dosen dan teman-temankerja. Makalah yang kami buat adalah mengenai Mudharabah yang mencakup tentang pengertian, macam, sayarat dan rukun, hukumnya, hikma dari pada Mudharabah. Semoga makalah yang kami buat ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita terhadap Mudharabah. Kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan, Akan tetapi kami yakin makalah ini dapat bermanfaat buat kita semua. Selamat membaca. Surabaya, 17 April 2012 Penulis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang .......................................... 1.2 Rumusan masalah 1. Apakah pengertian dari Mudharabah?... 2. Macam-macam Mudharabah?... 3. Rukun dan Syarat Mudharabah?... 4. Apa penyebab fasakhnya Mudharabah?... 5. Apa hukum dari Mudharabah?... 6. Apa hikma yang terkandung di dalamnya?... 1.3 Tujuan 1. Mahasiswa dapat memahami pengertian dari Mudharabah. 2. Mahasiswa dapat mengetahui macam Mudharabah. 3. Mahasiswa dapat mengetahui rukun dan syaratnya. 4. Mahasiswa memahami hukumnya. 5. Mahasiswa dapat mengetahui dan mengambil hikma yang berada di dalamnya. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Mudharabah Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari اَلضَّرْبُ فِى اْلاَرْضِ, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga.          ( المزمل: 20 ) Allah SWT, berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS. Al-Muzzammil: 20). Mudharabah disebut juga Qiradh, berasal dari kata Qardhu yang berarti Qath’u (potongan), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Menurut Ahmad Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (Dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta) mudharabah adalah kesepakatan antara pemilik modal (shahibul maal) untuk menyertakan modalnya kepada pekerja (pengusaha) untuk diinvestasikan, sedangkan keuntungan yang diperoleh menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama. 2.2 Macam-Macam Mudharabah Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yakni: 1. Mudharabah Muthlaqah (unrestricted): Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf) 2. Mudharabah Muqayyadah (restricted): Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya 2.3 Rukun Dan Syarat Rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian. Tidak disyaratkan adanya lafaz tertentu, tetapi dapat dengan bentuk apaa saja yang menunjukkan makna mudharabah. Karena yang dimaksudkan dalam akad ini adalah tujuan dan maknanya, bukan lafaz dan susunan kata. Syarat-syarat mudharabah, menurut Sayyid Sabiq meliputi empat syarat: 1. Modalnya berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk emas dan perak batangan, atau perhiasan atau barang dagangan, maka tidak sah. Ibnu Munzir berkata: “semua orang yang ilmunya kami jaga/hafal sepakat, bahwa seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi seseorang untuk suatu mudharabah. 2. Dapat diketahui dengan jelas, agar dapat dibedakan mana modal yang diperdagangkan dengan keuntungan yang dibagikan untuk kedua belah pihak, sesuai dengan kesepakatan. 3. Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal jelas prosentasinya, seperti 1/2, 1/3, dan 1/4. 4. Mudharabah itu bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat si pelaksana untuk berdagang di negeri tertentu atau memperdagangkan barang tertentu, atau beradagang pada waktu tertentu, sementara diwaktu lain tidak, atau ia hanya bermuamalah kepada orang-orang tertentu dan syarat-syarat lain semisalnya. Karena persyaratan mengikat, seringkali dapat menyimpang dari akad, yaitu keuntungan. Karena itu harus tidak ada persyaratannya, tanpa itu mudharabah menjadi fasid. Demikian menurut mazhab Maliki dan Asy Syafi’i. Adapun menurut Abu Hanifa dan Ahmad, kedua orang ini tidak mensyaratkan syarat tertentu, merekan mengatakan: “Sesungguhnya sebagaimana mudharabah menjadi sah dengan mutlaq, sah pula dengan muqayyad, pelaksana tidak boleh melewati syarat-syarat yang telah ditentukan. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka ia wajib menjaminnya. Pengertian syarat dalam mudharabah adalah, syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan mudharabah, menurut Abu Asma’ Kholid Syamhudi meliputi dua syarat : 1. Syarat yang shahih (dibenarkan), yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula menyelisihi tujuannya, serta memiliki maslahat (kebaikan) untuk akad tersebut. Contohnya: Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola agar tidak membawa pergi harta tersebut ke luar negeri atau membawanya ke luar negeri, atau melakukan perniagaannya khusus di negeri tertentu atau jenis tertentu yang mudah didapatkan. Menurut kesepakatan para ulama, syarat-syarat yang demikian ini dibenarkan dan wajib dipenuhi, karena terdapat kemaslahatan dan tidak menyelisihi tuntutan maupun maksud akad perjanjian mudharabah. 2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga: a. Syarat yang meniadakan/menghapus tuntutan konsekwensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual, kecuali dengan harga modal atau di bawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama, yaitu mencari keuntungan. b. Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya. c. Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan. Misalnya, mensyaratkan kepada pengelola pembagian keuntungan yang tidak jelas, atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola. Keuntungan usaha ini untuk pemilik modal, dan yang satunya untuk pengelola. Atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya, karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak, atau bahkan tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Dengan demikian, maka akadnya batal. 2.4 Fasakhnya Mudharabah Mudharabah menjadi fasakh (batal) karena hal-hal berikut ini: 1. Tidak terpenuhi syarat syahnya. Jika ternyata satu syarat mudharabah tidak terpenuhi sedang pelaksana sudah memegang modal dan sudah diperdagangkan, maka dalam keadaan seperti ini dia berhak mendapatkan bagian dari sebagian upahannya, karena tindakannya adalah berdasarkan izin dari pemilik modal dan dia melakukuan tugas yang ia berhak mendapat upah. Jika terdapat keuntungan, maka untuk pemilik modal dan kerugian pun menjadi tanggung jawabnya. Karena si pelaksana tak lebih dari seorang bayaran (ajir) dan seorang bayaran tidak terkena kewajiban menjamin, kecuali jika hal itu disengaja. 2. Bahwa pelaksana bersengaja atau tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini mudharabah menjadi batal dan ia berkewajiban menjamin modal jika rugi, karena dialah penyebab kerugian. 3. Bahwa pelaksana meninggal dunia atau si pemilik modalnya. Jika salah seorang meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh (batal) 2.5 Hukumnya Mudharabah Hukumnya Jaiz (boleh) ddengan ijma’. Rasulullah pernah melakukan mudharabah dengan Khadijah, dengan modal daripadanya (Khadija). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Ini sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Pada zaman Jahiliyah, mudharabah telah ada dan setelah datang agama Islam, mengakuinya. Al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan: ”Mudharabah telah terjadi pada masa Rasulullah, beliau mengetahuinya dan menetapkannya. Kalaulah tindakan demikian (terlarang) tentu rasulullah tidak membiarkannya begitu saja. Hukum ini, juga dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, di antaranya yang diriwayatkan dalam al Muwattha’ dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ia menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin al Khaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq. Ketika kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa al Asy’ari, yakni Gubernur Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata,”Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk kalian, pasti akan aku lakukan,” kemudian beliau berkata: “Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari harta Allah Ta'ala yang akan aku kirimkan kepada Amirul Mukminin. Aku meminjamkannya kepada kalian, untuk kalian belikan sesuau di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota al Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata,”Kami suka (dengan hal) itu,” maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin al Khaththab, agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota al Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar, lantas Umar bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?” Mereka menjawab,”Tidak.” Beliau berkata,”Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin, sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang itu beserta keuntungannya.” Adapun ‘Abdullah, hanya terdiam saja, sementara ‘Ubaidillah langsung angkat bicara: “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian, wahai Amirul Mukminin. Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggungjawab,” (Namun) ‘Umar tetap berkata,”Berikan uang itu semuanya.” ‘Abdullah tetap diam, sementara ‘Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara pengawal ‘Umar berkata: “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi, wahai ‘Umar?” 'Umar menjawab,”Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi,” ‘Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, sementara ‘Abdullah dan ‘Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya. Kaum Muslimin sudah terbiasa melakukan kerja sama semacam itu hingga jaman moderen ini, di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun-temurun, dari jaman jahiliyah hingga jaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kemudian Beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya. 2.6 Hikmahnya Islam mensyari’atkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada manusia. Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya. Dan terkadang ada pula orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syari’at membolehkan muamalah, ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya. Shahib al mal (investor) memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola). Sedangkan mudharib (pengelola) memanfaatkan harta. Maka dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allâh Ta'ala tidak mensyariatkan satu akad, kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. BAB III KESIMPULAN Hal lumrah jika seseorang ingin agar hartanya dapat memiliki nilai tambah. Sehingga seseorang selalu berusaha untuk c ddsmengembangkan harta yang dimilikinya, bisa dengan memutarnya dalam dunia perdagangan, atau pun dengan menanamkan investasi dalam bidang tertentu. Sementara itu, terkadang sebagai pemilik, seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkannya, sehingga ia membutuhkan orang lain untuk membantunya atau dengan melakukan kerjasama. Disinilah kemudian dibuat kesepahaman dalam pengembangan usaha tersebut, sehingga bisa saling menguntungkan. Salah satu jenis bentuk kerjasama dalam Islam, yaitu apa yang dikenal dengan istilah mudharabah. Oleh sebab itu, mudharabah ini disyariatkan oleh Allâh Ta'ala demi kepentingan kedua belah pihak. Islam mensyariatkan kerja sama mudharabah untuk memudahkan seseorang, karena sebagian mereka memiliki harta, namun tidak mampu mengelolanya. Ada juga seseorang yang tidak memiliki harta, namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka syariat membolehkan adanya kerja sama ini untuk bisa saling mengambil manfaat. Shahib al mal (investor) memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola). Sedangkan mudharib (pengelola) memanfaatkan harta. Maka dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allâh Ta'ala tidak mensyariatkan satu akad, kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Demikian tugas makalah ini kami sampaikan, kurang dan lebihnya dalam penulisan ataupun pemaparan masalah yang ada, kami mohon maaf sebesar-besarnya. Kritk dan saran yang membangun sungguh menjadikan ilmu tambah bagi kami sekelompok. Daftar Pustaka Sayyid Sabiq. 1987. Fiqih Sunnah XIII, Cet: I. PT. Al Ma’arif. Bandung. Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah, Cet: I. Gema Insari dan Tazkia’ Cendekia. Jakarta. http://fsh-uinjkt.net/index.php?option=com_content&view=article&id=177:jaminan-dalam-pembiayaan-mudharabah&mcatid=32:wacana&Itemid=105 Oleh: A. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=135. Hakikat Mudharabah Oleh: Ustadz Abu Asma’ Kholid Syamhudi. http://id.wikipedia.org/wiki/Mudharabah

Kamis, 23 Desember 2010


Di balik gunungan terlihat sunggingan yang menggambarkan api sedang menyala. Ini merupakan sengkalan yang berbunyi geni dadi sucining jagad yang mempunyai arti 3441 dibalik menjadi 1443 tahun Saka. Gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka.
Disebut gunungan karena bentuknya seperti gunung yang berisi mitos sangkan paraning dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan ini dan disebut juga KAYON. kata kayon melambangkan semua kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya yang mengalami tiga tingkatan yakni :

1. Tanam tuwuh (pepohonan) yang terdapat di dalam gunungan, yang orang mengartikan pohon Kalpataru, yang mempunyai makna pohon hidup.
2. Lukisan hewan yang terdapat di dalam gunungan ini menggambarkan hewan- hewan yang terdapat di tanah Jawa.
3. Kehidupan manusia yang dulu digambarkan pada kaca pintu gapura pada kayon, sekarang hanya dalam prolog dalang saja.
Kayon atau gunungan yang biasanya diletakkan di tangah kadang disamping itu mempunyai beberapa arti, arti dari diletakkannya gunungan ada 3 yakni:
1. Dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan, seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara.
2. Sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak).
3. Digunakan untuk menggambarkan pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar, membantu menciptakan efek tertentu (menghilang/berubah bentuk).
4. Gunungan merupakan simbol kehidupan, jadi setiap gambar yang berada di dalamnya melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya. Gunungan dilihat dari segi bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu lima waktu yang harus dilakukan oleh agama adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah SWT.
Dalam kayon terdapat ukiran-ukiran atau gambar yang diantaranya :
1. Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga melambangkan suatu rumah atau negara yang di dalamnya ada kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia.
2. Dua raksasa kembar lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng. diinterprestasikan bahwa gambar tersebut melambangkan penjaga alam gelap dan terang
3. Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon.
4. Gambar hutan belantara yang suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya.
5. Gambar ilu-ilu Banaspati melambangkan bahwa hidup di dunia ini banyak godaan, cobaan, tantangan dan mara bahaya yang setiap saat akan mengancam keselamatan manusia.
6. Pohon besar yang tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan.
7. Dua kepala makara ditengah pohon melambangkan manusia dalam kehidupan sehari mempunyai sifat yang rakus, jahat seperti setan.
8. Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas pohon dan dua ekor ayam hutan sedang bertengkar diatas pohon, macan berhadapan dengan banteng.
Lambang binatang yang menggambarkan tingkah laku manusia.
Kebo = pemalas,
Monyet = serakah,
Ular = licik,
Banteng = lambang roh , anasir tanah , dengan sifat kekuatan nafsu Aluamah
Harimau = lambang roh , anasir api dengan sifat kekuatan nafsu amarah, emosional, pemarah
Naga = lambang Roh , anasir air dengan sifat kekuatan nafsu sufiah
Burung Garuda= lambang Roh , anasir udara dengan sifat kekuatan
nafsu Muthmainah.
• Gambar raksasa digunakan sebagai lambang kawah condrodimuka, adapun bila dihubungkan dengan kehidupan manusia di dunia sebagai lambang atau pesan terhadap kaum yang berbuat dosa akan di masukkan ke dalam neraka yang penuh siksaan.
• Gambar samudra dalam gunungan pada wayang kulit melambangkan pikiran
• Gambar api merupakan simbol kebutuhan manusia yang mendasar karena dalam kehidupan sehari-hari akan membutuhkannya.
• 7 anak tangga: berarti tujuan atau PITUtur (pemberitahuan) bahwa kita semua yang bernama hidup pasti mati ” kullu nasi dha ikhotul maut “.
• Gerbang/pintu selo manangkep: pintu alam kubur yang kita tuju.
• Pohon hayat: jalan hidup seseorang yang lurus dan mempunyai 4 anak cabang yang menjadi perlambang nafsu kita dan banyak anak cabangnya.
Sedangkan dari filosofi bentuk adalah : bentuk gunungan sendiri menyerupai serambi bilik kiri yang ada di dalam tubuh kita, itu mungkin mempunyai makna kalau kita harus menjaga apapun yang ada di dalam hati kita hanya kepada sang pencipta. Dan yang lebih hebat lagi adalah dari segi bentuk yang persisi dengan “mustoko” di atas masjid yang ada banyak di negara kita. itu perlambang dari sipembuat untuk kita supaya menjaga hati kita secar lurus(seperti pohon)kepada masjid/agama/tuhan.
• Gunungan bisa diartikan lambang Pancer, yaitu jiwa atau sukma, sedang bentuknya yang segitiga mengandung arti bahwa manusia terdiri dari unsure cipta, rasa dan karsa. Sedangkan lambang gambar segi empat lambang sedulur papat dari anasir tanah, api , air, udara.
• Gunungan atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang, menurut kepercayaan hindu, secara makrokosmos gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang, menggambarkan proses bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan terwujudlah alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara-sethan), Bani (Brahma-api), Banyu (air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).
• Makara yang terdapat dalam pohon Kalpataru dalam gunungan tersebut berarti Brahma mula, yang bermakna bahwa benih hidup dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang terdapat pada umpak (pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat) kehidupan dari Sang hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup.
• Berkumpulnya Brahma mula dengan Padma mula kemudian menjadi satu dengan empat unsur, yaitu sarinya api yang dilukiskan sebagai halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan dengan tanah di bawah gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap gapura yang menggambarkan air berombak.
Gunungan / kayon sebagai gambaran hati kita


Hati, Psikologi sufi menekankan pentingnya mencerdaskan hati. Seseorang yang hatinya terbuka akan lebih bijaksana, penuh kasih sayang, dan lebih pengertian daripada mereka yang hatinya tertutup.

Hati kita meiliki empat lapisan, Tiap lapisan terhubung dengan salah satu cahaya Allah. Dada ( shadr )—lapisan luar—terhubung dengan cahaya Islam, hati ( qalb ) terhubung dengan cahaya iman, hati-lebih-dalam ( fu’âd ) terhubung dengan cahaya makrifat, sementara inti-hati ( lubb) terhubung dengan cahaya tauhid.
Empat lapisan ini juga berkaitan dengan empat kedudukan hamba—muslim, mukmin, ahli makrifat, dan ahli tauhid—dan empat kondisi nafs (jiwa) yang disebutkan dalam Alquran: nafs yang memerintahkan keburukan ( ammârah bi al-sû’ ), nafs yang suka mencela ( lawwâmah ), nafs yang terilhami ( mulhamah ), dan nafs yang tenteram ( muthma’innah ).


Gunungan (simbolisasi Hati)

“Istafti qalbak, mintalah fatwa pada hatimu; kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.” Hadis Nabi.

Hati menurut filosofi jawa disimbulkan oleh gunungan/kayon/kelir di dalam pagelaran wayang purwa, didalamnya terdapat gambar empat jenis binatang yang menggambarkan 4 jenis nafsu manusia, keempat jenis binatang tersebut adalah :

1. Macan (Harimau) : menggambarkan nafsu amarah "remenipun paben fitenah" (menyukai kepada adu domba, fitnah, dan sejenisnya).
2. Banteng : menggambarkan nafsu Sufiyah "remenipun milik sanes kewajibanipun" (menyukai iri dengki, hasud, tidak suka bila orang lain dapat kenikmatan/kebahagiaan), cenderung suka keindahan.
3. Kethek (Monyet) : menggambarkan nafsu Aluamah "remenipun mangontho-ontho kereng donyo artho" (menyukai dunia dan harta benda).
4. Burung Merak : menggambarkan nafsu Mutmainnah "remenipun nderek gugon tuhon, bimbing pangiwo, mundi-mundi sajen-sajen, kuthuk-kuthuk ahli peteng karang sihir, kadiddayan, kanuragan" (patuh tanpa ditelaah terlebih dahulu, menyembah tetapi salah arah), sebenarnya nafsu ini cenderung baik tetapi bila berlebihan juga tetap tidak baik. Contohnya : memberi uang/sodaqoh kepada orang yang kekurangan itu baik, tetapi ketika semua uangnya diberikan kepada orang yang kekurangan itu mengakibatkan hidupnya susah/rusak, hal itu akan itu menjadi tidak baik.

Sebagai gambaran orang yang menaiki kereta kuda, keempat nafsu tersebut merupakan kuda penggerak agar kereta dapat berjalan, maka sang kusir harus mampu mengendalikan, mengarahkan kudanya agar dapat mengantarkan kusir/penumpangnya sampai pada tujuan yang sebenarnya yaitu Allah SWT (Illahi anta maksudi waridhoka mathlubi), jangan sampai malah sang kusir yang mengikuti atau malah dikuasai oleh sang kuda.


Diambil dari berbagai sumber, Wallahu a'lam bis showab...

Dalam filosofi Arya Bhima Sena juga tersimpan makna yang sangat mendalam.




Nama Bhima yang juga disebut Werkudara itu memiliki arti proses menahan napas.
Dalam pewayangan hal tersebut juga bisa diartikan orang yang mampu menahan segala godaan dalam hidup. Namun, untuk mencapai tahapan tersebut, seseorang harus mengalami berbagai macam ujian.
Pada kisah Bhima di lakon yang berjudul Dewaruci, diceritakan ia diperintahkan gurunya, Resi Dorna, untuk mencari sebuah inti air suci bernama Banyu Perwita Sari di dasar lautan.
Untuk mencari mata air tersebut, Bhima harus masuk ke dalam samudera dan mengalahkan raksasa Rukmuka dan Rukmukala yang mencoba menghentikan misinya. Bhima juga harus menghadapi naga raksasa sebelum akhirnya ia bertemu dengan Dewaruci dan mendapatkan nasehat-nasehat tentang hidup. Dia akhirnya menjadi lebih arif dalam menjalani hidupnya.
“Jika dianalisa lebih jeli, musuh-musuh adik Puntadewa dalam cerita itu sebenarnya adalah representasi dari godaan yang selalu ada dalam kehidupan manusia sedangkan kemenangan Bhima adalah suatu bukti bahwa manusia jika berusaha dengan sungguh-sungguh akan mencapai keinginannya walaupun masalah menghadang,” katanya.
Hal yang bisa dipetik dalam cerita Bhima tersebut adalah bahwa setiap manusia memang harus menghadapi ujian dan godaan dulu barulah mendapatkan makna hidup yang sesungguhnya.
Simbol
Selain kisah Bhima yang bisa dijadikan inspirasi bagi kehidupan manusia, pakaian dan aksesoris yang dikenakan tokoh ini pun juga sarat makna.
Bhima pada cerita Dewaruci dikisahkan membawa senjata Gada Rujakpolo. Kata Polo secara harfiah berarti otak sedangkan arti tersiratnya adalah bahwa untuk memecahkan dan menguasai segala cita-cita, pandangan hidup dan mengembangkannya harus mempergunakan otak.
Tokoh yang diilustrasikan sebagai orang kuat ini juga mengucapkan semacam mantra yang dinamakan Aji Bandung Bandawasa Gandamana yang artinya bahwa sekeliling tubuhnya dari rambut sampai telapak kaki, diikat oleh penguasa yakni Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kuasa Tuhan, Bhimasena bisa hidup disertai pikiran yang bisa menyaring mana yang baik dan buruk.
Sementara itu, Pancanaka, kuku tangan Bhima yang digunakan sebagai senjata juga bisa diartikan bahwa manusia harus menggunakan kedua tangannya yang masing-masing berjari lima untuk mencapai semua tujuan hidupnya.
Bhima juga digambarkan memakai gelang Candra Kirana yang berbentuk bulan dan bintang. Bulan menurut kepercayaan masyarakat adalah benda langit yang mengeluarkan cahaya yang lembut dan mampu memekarkan kuncup bunga sedangkan bintang banyak dipergunakan sebagai patokan bagi manusia untuk kepentingan pertanian, mencari ikan di laut,menentukan arah dan juga lambang ketinggian martabat dalam karir.
Dalam hal ini, Bhima digambarkan mampu memberikan masyarakat suasana sejuk, mengarahkan mereka ke jalan yang benar dan mampu meninggikan derajat manusia lainnya.
Anting-anting Bhima yang dinamakan Kembang Manggis memiliki arti sendiri. Jika dilihat helaian bunga manggis yang terletak di luar kulit buah tersebut ternyata jumlahnya selalu sama dengan jumlah isi manggis.
Hal ini berarti Bhima hanya mau mendengarkan sesuatu yang benar. Sekalipun hal yang didengar terasa pahit seperti kulit Manggis, tetapi bila di dalamnya mengandung kebenaran maka akan tetap manis pada akhirnya.
“Makna-makna seperti itulah yang dibutuhkan manusia sebagai patokan dalam hidupnya. Sudah selayaknya masyarakat mengambil contoh dari sikap dan nasehat-nasehat yang diilustrasikan dalam tokoh wayang ke kehidupan sehari-hari mereka,” kata Dachlan.


Filosofi Semar ( Batara Ismaya )
Mari kita kaitkan tentang ketakwaan kepada Allah SWT, dengan filosofi Semar. Padahal kebudayaan jawa dan Arab itu sangat berkaitan, mari kita simak brikut ini:

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Filosofi, Biologis Semar
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”.
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah :
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :
Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.
Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )
Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.
Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka

Kamis, 10 Desember 2009

Iman seseorang

Iman adalah suatu kepercayaan bagi umat beragama seperti agama islam, di dalam islam terdapat rukun rukun iman yang harus diketahui sejak dini,seperti diagama islam rukun iman ada enam yaitu:
1. Iman kepada Allah SWT
2. Iman kepada kitab Allah
3. Iman kepada Malaikat Allah
4. Iman kepada Rosul-rosul Allah
5. Iman kepada Qodhlok dan Qodar Allah
6. Iman kepada Hari Akhir(hari kiamat)

Dari kesemua itu kita harus yakin dan mengimani apa yang menjadi rukun diagama kita yaitu Islam Agama yang lurus dan benar. janganlah engau cuma tau, akan tetapai engkau tidak melaksanakan apa yang ada dalam pendoman agamamu, yaitu Islam. Bahwa sanya orang orang yang hanya tau pendoman/kewajiban/larangan dan laim-lain, akan tetapi tidak mengamalakannya maka bangkurtlah ia didunia dan akhirat.

Iman seseorang di ibaratkan sebagai termometr bisa naik dan bisa turun disaat ia bimbang atau terpengaruh nafsu duniawi/nafsu Syatan, maka turunlah iman seseorang tersebut. Memang menjaga iman itu sulit dan berat bagikita,

Senin, 30 November 2009

ketaqwaan




MEMAHAMI IMAN


Secara umum, iman seseorang sering diartikan sebagai kepercayaan atau keyakinan yang mantap akan adanya Allah SWT, para malaikat, kitab kiab nya, para Rasul nya, hari kiamat, dan takdir (baik ataupun buruk).


Iman merupakan perbuatan qolbu yang (seharusnya) berimplikasi sosial.Sebagai mana sabda Nabi SAW yang artinya :

Bahwasanya iman itu mengetahui dalam qolbu, dan pengakuan dengan lisan serta pekerjaan dengan anggota tubuh’’ (HR.Ibnu Majah)


Konsekunsinya logis dari keimanan yang hakiki adalah mematuhi segala larangan Allah SWT. Kerangka inilah yang sebenarnya yang seharusnya menjadi Orientasi seorang muslim dalam melakukan perbuatan baik. Namun bukan berarti tanpa iman manusia tidak bisa berbuat baik. Seorang yang yang tida memiliki keimanan yang kuat pun dapat melakukan perbuatan baik. Hanya saja kadangkala kebaikan yang ia perbuat lebih bersifat semu, yang selau mengharapkan balasan sebagai imbalan dari perbuatannya. Jika balasan itu tidak ada, kecewalah dia.


Dalam Al Qur’an pada surat Al Fatiha ayat ke 5 yang berbunyi


    

: Artinya

5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[7].


[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.

[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.


Iman juga berfungsi sebagai alat control yang efektif. Seorang yang beriman akan berpikir panjang untuk melakukan sesuatu yang tercela, apalagi sampai merugikan orang lain. Sebab, walaupun tidak ada orang yang mengetahuinya, iya yakin Allah SWT. Dapat melihatnya, Allah maha tahu dan maha pemdengar terhadap apa yang diperbuat hamba – nya, sekecil apaun perbuatan itu. Bahkan hal - hal yang belum dikerjakan, Allah SWT juga mengeahui dengan jelas.

Orang yang beriman senantiasa merasa ada yang mengintai dalam setia detak jantung, desah nafas serta desir darahnya. Dan itu akan menjadi penerang / pengingat bagi manusia untuk berbuat hal - hal yang mengandung dosa. Allah SWT berfirman:

             

7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.

8. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (Al Zalzalah:7 -8)


Lain halnya dengan orang yang tidak beriman. Mereka begiu gampang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Takpeduli bertentangan dengan hukum. Padahal, sudah jelas bahwa setiap dosa, sekecil apaun akan mendapatkan siksa yang pedih di ahkirat nanti. Namun merka tutup mata, seolah tidak tahu dan tidak takut menerima balasan adzab dari Allah SWT. Yang penting tujuan tercapai, cara apapun halal.


Orang yang beriman hatinya akan terjauh dari sifat - sifat tercela. Sifat hasud, riya’ dan takabbur akan pergi dari hatinya, karena ia yakin bahwa semua nikmat, baik berupa harta, jabatan dan lain sebagainya adalah dari Allah SWT. Di dalam dirinya tidak akan muncul sifat sombong atas nikmat yang dia peroleh, karena tertanam keyakinan bahwa harta adalah titipan Allah yang harus dipergunakan untuk kebaikan. Begitu pula hati akan bersih dari sifat dengki karena dia sadar bahwa nikmat yang didapat oleh orang lain itu merupakan karunia Allah SWT.


Tetapi mengapa banyak orang yang mengatakan bahwa ia beriman, sedangkan mereka berbuat tercela ?.......

Persoalanya adalah sejauh mana iman itu dapat berfungsi sebagai alat control yang efektif. Hal itu sangat terkait erat dengan kualitas iman yang dimiliki. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW, iman bagaikan sebuah gelombang yang bisah pasang dan bias pula surut. Karena itu untuk menghasilkan kualitas iman yang baik, perlu diasah sehingga benar – benar berfungsi sebagai alat control yang mampu mengantarkan manusia menuju jalan yang lurus.


( Addinul Islam)


Rukun iman itu ada 6 yaitu


  1. Iman kepada Allah SWT

  2. Iman kepada Rasulullah

  3. Iman kepada Kitab-Kitab Allah

  4. Iman kepada Malaikat Allah

  5. Iman kepada Qodlok dan Qodar

  6. Iman kepada Hari kiamat


Dari itulah mari kita ingat siapa yang menciptakan kita, yang memberi nikmat, yang memberikan hidaya, rahmat, dan pertolangan kepada kita sekarang ini. Memang menurut kebiasaan, orang maumengingat atau baru ingat ke pada Allah bila ia mendapat kesusahan atau kesedihan dan apabila kesusahan itu telah lepas maka lupala ia kepada Allah.

Allah meningatkan kita untuk selalu mengingatnya dalam segala hal. Dalam firmannya :

                          

41. Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.

42. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.

43. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (Al Ahzab: 41-43)


Dan firman Allah yang lain :

      

152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.


[98] Maksudnya: aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.

Dan kesimpulanya tertera pada surat Al Baqara ayat 1-5

                                           

1. Alif laam miim[10].

2. Kitab[11] (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa[12],

3. (yaitu) mereka yang beriman[13] kepada yang ghaib[14], yang mendirikan shalat[15], dan menafkahkan sebahagian rezki[16] yang Kami anugerahkan kepada mereka.

4. Dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu[17], serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat[18].

5. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung[19].


[10] Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: Alif laam miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. diantara Ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang Termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian Para Pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, Maka cobalah mereka buat semacam Al Quran itu.

[11] Tuhan menamakan Al Quran dengan Al kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis.

[12] Takwa Yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.

[13] Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.

[14] Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.

[15] Shalat menurut bahasa 'Arab: doa. menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.

[16] Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rezki, ialah memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.

[17] Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelum Muhammad s.a.w. ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran seperti: Taurat, Zabur, Injil dan Shuhuf-Shuhuf yang tersebut dalam Al Quran yang diturunkan kepada Para rasul. Allah menurunkan kitab kepada Rasul ialah dengan memberikan wahyu kepada Jibril a.s., lalu Jibril menyampaikannya kepada rasul.

[18] Yakin ialah kepercayaan yang kuat dengan tidak dicampuri keraguan sedikitpun. akhirat lawan dunia. kehidupan akhirat ialah kehidupan sesudah dunia berakhir. yakin akan adanya kehidupan akhirat ialah benar-benar percaya akan adanya kehidupan sesudah dunia berakhir.

[19] Ialah orang-orang yang mendapat apa-apa yang dimohonkannya kepada Allah sesudah mengusahakannya.