Kamis, 23 Desember 2010


Di balik gunungan terlihat sunggingan yang menggambarkan api sedang menyala. Ini merupakan sengkalan yang berbunyi geni dadi sucining jagad yang mempunyai arti 3441 dibalik menjadi 1443 tahun Saka. Gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka.
Disebut gunungan karena bentuknya seperti gunung yang berisi mitos sangkan paraning dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan ini dan disebut juga KAYON. kata kayon melambangkan semua kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya yang mengalami tiga tingkatan yakni :

1. Tanam tuwuh (pepohonan) yang terdapat di dalam gunungan, yang orang mengartikan pohon Kalpataru, yang mempunyai makna pohon hidup.
2. Lukisan hewan yang terdapat di dalam gunungan ini menggambarkan hewan- hewan yang terdapat di tanah Jawa.
3. Kehidupan manusia yang dulu digambarkan pada kaca pintu gapura pada kayon, sekarang hanya dalam prolog dalang saja.
Kayon atau gunungan yang biasanya diletakkan di tangah kadang disamping itu mempunyai beberapa arti, arti dari diletakkannya gunungan ada 3 yakni:
1. Dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan, seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara.
2. Sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak).
3. Digunakan untuk menggambarkan pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar, membantu menciptakan efek tertentu (menghilang/berubah bentuk).
4. Gunungan merupakan simbol kehidupan, jadi setiap gambar yang berada di dalamnya melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya. Gunungan dilihat dari segi bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu lima waktu yang harus dilakukan oleh agama adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah SWT.
Dalam kayon terdapat ukiran-ukiran atau gambar yang diantaranya :
1. Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga melambangkan suatu rumah atau negara yang di dalamnya ada kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia.
2. Dua raksasa kembar lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng. diinterprestasikan bahwa gambar tersebut melambangkan penjaga alam gelap dan terang
3. Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon.
4. Gambar hutan belantara yang suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya.
5. Gambar ilu-ilu Banaspati melambangkan bahwa hidup di dunia ini banyak godaan, cobaan, tantangan dan mara bahaya yang setiap saat akan mengancam keselamatan manusia.
6. Pohon besar yang tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan.
7. Dua kepala makara ditengah pohon melambangkan manusia dalam kehidupan sehari mempunyai sifat yang rakus, jahat seperti setan.
8. Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas pohon dan dua ekor ayam hutan sedang bertengkar diatas pohon, macan berhadapan dengan banteng.
Lambang binatang yang menggambarkan tingkah laku manusia.
Kebo = pemalas,
Monyet = serakah,
Ular = licik,
Banteng = lambang roh , anasir tanah , dengan sifat kekuatan nafsu Aluamah
Harimau = lambang roh , anasir api dengan sifat kekuatan nafsu amarah, emosional, pemarah
Naga = lambang Roh , anasir air dengan sifat kekuatan nafsu sufiah
Burung Garuda= lambang Roh , anasir udara dengan sifat kekuatan
nafsu Muthmainah.
• Gambar raksasa digunakan sebagai lambang kawah condrodimuka, adapun bila dihubungkan dengan kehidupan manusia di dunia sebagai lambang atau pesan terhadap kaum yang berbuat dosa akan di masukkan ke dalam neraka yang penuh siksaan.
• Gambar samudra dalam gunungan pada wayang kulit melambangkan pikiran
• Gambar api merupakan simbol kebutuhan manusia yang mendasar karena dalam kehidupan sehari-hari akan membutuhkannya.
• 7 anak tangga: berarti tujuan atau PITUtur (pemberitahuan) bahwa kita semua yang bernama hidup pasti mati ” kullu nasi dha ikhotul maut “.
• Gerbang/pintu selo manangkep: pintu alam kubur yang kita tuju.
• Pohon hayat: jalan hidup seseorang yang lurus dan mempunyai 4 anak cabang yang menjadi perlambang nafsu kita dan banyak anak cabangnya.
Sedangkan dari filosofi bentuk adalah : bentuk gunungan sendiri menyerupai serambi bilik kiri yang ada di dalam tubuh kita, itu mungkin mempunyai makna kalau kita harus menjaga apapun yang ada di dalam hati kita hanya kepada sang pencipta. Dan yang lebih hebat lagi adalah dari segi bentuk yang persisi dengan “mustoko” di atas masjid yang ada banyak di negara kita. itu perlambang dari sipembuat untuk kita supaya menjaga hati kita secar lurus(seperti pohon)kepada masjid/agama/tuhan.
• Gunungan bisa diartikan lambang Pancer, yaitu jiwa atau sukma, sedang bentuknya yang segitiga mengandung arti bahwa manusia terdiri dari unsure cipta, rasa dan karsa. Sedangkan lambang gambar segi empat lambang sedulur papat dari anasir tanah, api , air, udara.
• Gunungan atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang, menurut kepercayaan hindu, secara makrokosmos gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang, menggambarkan proses bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan terwujudlah alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara-sethan), Bani (Brahma-api), Banyu (air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).
• Makara yang terdapat dalam pohon Kalpataru dalam gunungan tersebut berarti Brahma mula, yang bermakna bahwa benih hidup dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang terdapat pada umpak (pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat) kehidupan dari Sang hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup.
• Berkumpulnya Brahma mula dengan Padma mula kemudian menjadi satu dengan empat unsur, yaitu sarinya api yang dilukiskan sebagai halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan dengan tanah di bawah gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap gapura yang menggambarkan air berombak.
Gunungan / kayon sebagai gambaran hati kita


Hati, Psikologi sufi menekankan pentingnya mencerdaskan hati. Seseorang yang hatinya terbuka akan lebih bijaksana, penuh kasih sayang, dan lebih pengertian daripada mereka yang hatinya tertutup.

Hati kita meiliki empat lapisan, Tiap lapisan terhubung dengan salah satu cahaya Allah. Dada ( shadr )—lapisan luar—terhubung dengan cahaya Islam, hati ( qalb ) terhubung dengan cahaya iman, hati-lebih-dalam ( fu’âd ) terhubung dengan cahaya makrifat, sementara inti-hati ( lubb) terhubung dengan cahaya tauhid.
Empat lapisan ini juga berkaitan dengan empat kedudukan hamba—muslim, mukmin, ahli makrifat, dan ahli tauhid—dan empat kondisi nafs (jiwa) yang disebutkan dalam Alquran: nafs yang memerintahkan keburukan ( ammârah bi al-sû’ ), nafs yang suka mencela ( lawwâmah ), nafs yang terilhami ( mulhamah ), dan nafs yang tenteram ( muthma’innah ).


Gunungan (simbolisasi Hati)

“Istafti qalbak, mintalah fatwa pada hatimu; kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.” Hadis Nabi.

Hati menurut filosofi jawa disimbulkan oleh gunungan/kayon/kelir di dalam pagelaran wayang purwa, didalamnya terdapat gambar empat jenis binatang yang menggambarkan 4 jenis nafsu manusia, keempat jenis binatang tersebut adalah :

1. Macan (Harimau) : menggambarkan nafsu amarah "remenipun paben fitenah" (menyukai kepada adu domba, fitnah, dan sejenisnya).
2. Banteng : menggambarkan nafsu Sufiyah "remenipun milik sanes kewajibanipun" (menyukai iri dengki, hasud, tidak suka bila orang lain dapat kenikmatan/kebahagiaan), cenderung suka keindahan.
3. Kethek (Monyet) : menggambarkan nafsu Aluamah "remenipun mangontho-ontho kereng donyo artho" (menyukai dunia dan harta benda).
4. Burung Merak : menggambarkan nafsu Mutmainnah "remenipun nderek gugon tuhon, bimbing pangiwo, mundi-mundi sajen-sajen, kuthuk-kuthuk ahli peteng karang sihir, kadiddayan, kanuragan" (patuh tanpa ditelaah terlebih dahulu, menyembah tetapi salah arah), sebenarnya nafsu ini cenderung baik tetapi bila berlebihan juga tetap tidak baik. Contohnya : memberi uang/sodaqoh kepada orang yang kekurangan itu baik, tetapi ketika semua uangnya diberikan kepada orang yang kekurangan itu mengakibatkan hidupnya susah/rusak, hal itu akan itu menjadi tidak baik.

Sebagai gambaran orang yang menaiki kereta kuda, keempat nafsu tersebut merupakan kuda penggerak agar kereta dapat berjalan, maka sang kusir harus mampu mengendalikan, mengarahkan kudanya agar dapat mengantarkan kusir/penumpangnya sampai pada tujuan yang sebenarnya yaitu Allah SWT (Illahi anta maksudi waridhoka mathlubi), jangan sampai malah sang kusir yang mengikuti atau malah dikuasai oleh sang kuda.


Diambil dari berbagai sumber, Wallahu a'lam bis showab...

Dalam filosofi Arya Bhima Sena juga tersimpan makna yang sangat mendalam.




Nama Bhima yang juga disebut Werkudara itu memiliki arti proses menahan napas.
Dalam pewayangan hal tersebut juga bisa diartikan orang yang mampu menahan segala godaan dalam hidup. Namun, untuk mencapai tahapan tersebut, seseorang harus mengalami berbagai macam ujian.
Pada kisah Bhima di lakon yang berjudul Dewaruci, diceritakan ia diperintahkan gurunya, Resi Dorna, untuk mencari sebuah inti air suci bernama Banyu Perwita Sari di dasar lautan.
Untuk mencari mata air tersebut, Bhima harus masuk ke dalam samudera dan mengalahkan raksasa Rukmuka dan Rukmukala yang mencoba menghentikan misinya. Bhima juga harus menghadapi naga raksasa sebelum akhirnya ia bertemu dengan Dewaruci dan mendapatkan nasehat-nasehat tentang hidup. Dia akhirnya menjadi lebih arif dalam menjalani hidupnya.
“Jika dianalisa lebih jeli, musuh-musuh adik Puntadewa dalam cerita itu sebenarnya adalah representasi dari godaan yang selalu ada dalam kehidupan manusia sedangkan kemenangan Bhima adalah suatu bukti bahwa manusia jika berusaha dengan sungguh-sungguh akan mencapai keinginannya walaupun masalah menghadang,” katanya.
Hal yang bisa dipetik dalam cerita Bhima tersebut adalah bahwa setiap manusia memang harus menghadapi ujian dan godaan dulu barulah mendapatkan makna hidup yang sesungguhnya.
Simbol
Selain kisah Bhima yang bisa dijadikan inspirasi bagi kehidupan manusia, pakaian dan aksesoris yang dikenakan tokoh ini pun juga sarat makna.
Bhima pada cerita Dewaruci dikisahkan membawa senjata Gada Rujakpolo. Kata Polo secara harfiah berarti otak sedangkan arti tersiratnya adalah bahwa untuk memecahkan dan menguasai segala cita-cita, pandangan hidup dan mengembangkannya harus mempergunakan otak.
Tokoh yang diilustrasikan sebagai orang kuat ini juga mengucapkan semacam mantra yang dinamakan Aji Bandung Bandawasa Gandamana yang artinya bahwa sekeliling tubuhnya dari rambut sampai telapak kaki, diikat oleh penguasa yakni Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kuasa Tuhan, Bhimasena bisa hidup disertai pikiran yang bisa menyaring mana yang baik dan buruk.
Sementara itu, Pancanaka, kuku tangan Bhima yang digunakan sebagai senjata juga bisa diartikan bahwa manusia harus menggunakan kedua tangannya yang masing-masing berjari lima untuk mencapai semua tujuan hidupnya.
Bhima juga digambarkan memakai gelang Candra Kirana yang berbentuk bulan dan bintang. Bulan menurut kepercayaan masyarakat adalah benda langit yang mengeluarkan cahaya yang lembut dan mampu memekarkan kuncup bunga sedangkan bintang banyak dipergunakan sebagai patokan bagi manusia untuk kepentingan pertanian, mencari ikan di laut,menentukan arah dan juga lambang ketinggian martabat dalam karir.
Dalam hal ini, Bhima digambarkan mampu memberikan masyarakat suasana sejuk, mengarahkan mereka ke jalan yang benar dan mampu meninggikan derajat manusia lainnya.
Anting-anting Bhima yang dinamakan Kembang Manggis memiliki arti sendiri. Jika dilihat helaian bunga manggis yang terletak di luar kulit buah tersebut ternyata jumlahnya selalu sama dengan jumlah isi manggis.
Hal ini berarti Bhima hanya mau mendengarkan sesuatu yang benar. Sekalipun hal yang didengar terasa pahit seperti kulit Manggis, tetapi bila di dalamnya mengandung kebenaran maka akan tetap manis pada akhirnya.
“Makna-makna seperti itulah yang dibutuhkan manusia sebagai patokan dalam hidupnya. Sudah selayaknya masyarakat mengambil contoh dari sikap dan nasehat-nasehat yang diilustrasikan dalam tokoh wayang ke kehidupan sehari-hari mereka,” kata Dachlan.


Filosofi Semar ( Batara Ismaya )
Mari kita kaitkan tentang ketakwaan kepada Allah SWT, dengan filosofi Semar. Padahal kebudayaan jawa dan Arab itu sangat berkaitan, mari kita simak brikut ini:

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Filosofi, Biologis Semar
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.
Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.
Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”.
Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri sosok semar adalah :
Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua
Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan
Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa
Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.
Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .
Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi :
Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri
Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya.
Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 )
Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.
Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 )
Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka