Kamis, 10 Mei 2012

Di susun oleh : Ahmad Hamim Tohari : C71211166 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL FAKULTAS SYARI’AH / JURUSAN AHWAL AS – SYAKHSIYAH (D) SURABAYA 2012 KATA PENGANTAR Alhamdulillah tidak lupa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan tugas makalah Hukum Perdata Islam ini. Dalam proses pengumpulan data-data dan juga proses pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan Ibu dosen dan teman-temankerja. Makalah yang kami buat adalah mengenai Mudharabah yang mencakup tentang pengertian, macam, sayarat dan rukun, hukumnya, hikma dari pada Mudharabah. Semoga makalah yang kami buat ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita terhadap Mudharabah. Kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kekurangan, Akan tetapi kami yakin makalah ini dapat bermanfaat buat kita semua. Selamat membaca. Surabaya, 17 April 2012 Penulis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang .......................................... 1.2 Rumusan masalah 1. Apakah pengertian dari Mudharabah?... 2. Macam-macam Mudharabah?... 3. Rukun dan Syarat Mudharabah?... 4. Apa penyebab fasakhnya Mudharabah?... 5. Apa hukum dari Mudharabah?... 6. Apa hikma yang terkandung di dalamnya?... 1.3 Tujuan 1. Mahasiswa dapat memahami pengertian dari Mudharabah. 2. Mahasiswa dapat mengetahui macam Mudharabah. 3. Mahasiswa dapat mengetahui rukun dan syaratnya. 4. Mahasiswa memahami hukumnya. 5. Mahasiswa dapat mengetahui dan mengambil hikma yang berada di dalamnya. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Mudharabah Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari اَلضَّرْبُ فِى اْلاَرْضِ, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga.          ( المزمل: 20 ) Allah SWT, berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS. Al-Muzzammil: 20). Mudharabah disebut juga Qiradh, berasal dari kata Qardhu yang berarti Qath’u (potongan), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Menurut Ahmad Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (Dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta) mudharabah adalah kesepakatan antara pemilik modal (shahibul maal) untuk menyertakan modalnya kepada pekerja (pengusaha) untuk diinvestasikan, sedangkan keuntungan yang diperoleh menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama. 2.2 Macam-Macam Mudharabah Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yakni: 1. Mudharabah Muthlaqah (unrestricted): Dimana shahibul maal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf) 2. Mudharabah Muqayyadah (restricted): Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya 2.3 Rukun Dan Syarat Rukun mudharabah adalah ijab dan qabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian. Tidak disyaratkan adanya lafaz tertentu, tetapi dapat dengan bentuk apaa saja yang menunjukkan makna mudharabah. Karena yang dimaksudkan dalam akad ini adalah tujuan dan maknanya, bukan lafaz dan susunan kata. Syarat-syarat mudharabah, menurut Sayyid Sabiq meliputi empat syarat: 1. Modalnya berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk emas dan perak batangan, atau perhiasan atau barang dagangan, maka tidak sah. Ibnu Munzir berkata: “semua orang yang ilmunya kami jaga/hafal sepakat, bahwa seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi seseorang untuk suatu mudharabah. 2. Dapat diketahui dengan jelas, agar dapat dibedakan mana modal yang diperdagangkan dengan keuntungan yang dibagikan untuk kedua belah pihak, sesuai dengan kesepakatan. 3. Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal jelas prosentasinya, seperti 1/2, 1/3, dan 1/4. 4. Mudharabah itu bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat si pelaksana untuk berdagang di negeri tertentu atau memperdagangkan barang tertentu, atau beradagang pada waktu tertentu, sementara diwaktu lain tidak, atau ia hanya bermuamalah kepada orang-orang tertentu dan syarat-syarat lain semisalnya. Karena persyaratan mengikat, seringkali dapat menyimpang dari akad, yaitu keuntungan. Karena itu harus tidak ada persyaratannya, tanpa itu mudharabah menjadi fasid. Demikian menurut mazhab Maliki dan Asy Syafi’i. Adapun menurut Abu Hanifa dan Ahmad, kedua orang ini tidak mensyaratkan syarat tertentu, merekan mengatakan: “Sesungguhnya sebagaimana mudharabah menjadi sah dengan mutlaq, sah pula dengan muqayyad, pelaksana tidak boleh melewati syarat-syarat yang telah ditentukan. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka ia wajib menjaminnya. Pengertian syarat dalam mudharabah adalah, syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan mudharabah, menurut Abu Asma’ Kholid Syamhudi meliputi dua syarat : 1. Syarat yang shahih (dibenarkan), yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula menyelisihi tujuannya, serta memiliki maslahat (kebaikan) untuk akad tersebut. Contohnya: Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola agar tidak membawa pergi harta tersebut ke luar negeri atau membawanya ke luar negeri, atau melakukan perniagaannya khusus di negeri tertentu atau jenis tertentu yang mudah didapatkan. Menurut kesepakatan para ulama, syarat-syarat yang demikian ini dibenarkan dan wajib dipenuhi, karena terdapat kemaslahatan dan tidak menyelisihi tuntutan maupun maksud akad perjanjian mudharabah. 2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga: a. Syarat yang meniadakan/menghapus tuntutan konsekwensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual, kecuali dengan harga modal atau di bawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama, yaitu mencari keuntungan. b. Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akad, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya. c. Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan. Misalnya, mensyaratkan kepada pengelola pembagian keuntungan yang tidak jelas, atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola. Keuntungan usaha ini untuk pemilik modal, dan yang satunya untuk pengelola. Atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya, karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak, atau bahkan tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Dengan demikian, maka akadnya batal. 2.4 Fasakhnya Mudharabah Mudharabah menjadi fasakh (batal) karena hal-hal berikut ini: 1. Tidak terpenuhi syarat syahnya. Jika ternyata satu syarat mudharabah tidak terpenuhi sedang pelaksana sudah memegang modal dan sudah diperdagangkan, maka dalam keadaan seperti ini dia berhak mendapatkan bagian dari sebagian upahannya, karena tindakannya adalah berdasarkan izin dari pemilik modal dan dia melakukuan tugas yang ia berhak mendapat upah. Jika terdapat keuntungan, maka untuk pemilik modal dan kerugian pun menjadi tanggung jawabnya. Karena si pelaksana tak lebih dari seorang bayaran (ajir) dan seorang bayaran tidak terkena kewajiban menjamin, kecuali jika hal itu disengaja. 2. Bahwa pelaksana bersengaja atau tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan akad. Dalam keadaan seperti ini mudharabah menjadi batal dan ia berkewajiban menjamin modal jika rugi, karena dialah penyebab kerugian. 3. Bahwa pelaksana meninggal dunia atau si pemilik modalnya. Jika salah seorang meninggal dunia, mudharabah menjadi fasakh (batal) 2.5 Hukumnya Mudharabah Hukumnya Jaiz (boleh) ddengan ijma’. Rasulullah pernah melakukan mudharabah dengan Khadijah, dengan modal daripadanya (Khadija). Beliau pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk diperdagangkan. Ini sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Pada zaman Jahiliyah, mudharabah telah ada dan setelah datang agama Islam, mengakuinya. Al Hafiz Ibnu Hajar mengatakan: ”Mudharabah telah terjadi pada masa Rasulullah, beliau mengetahuinya dan menetapkannya. Kalaulah tindakan demikian (terlarang) tentu rasulullah tidak membiarkannya begitu saja. Hukum ini, juga dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, di antaranya yang diriwayatkan dalam al Muwattha’ dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ia menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin al Khaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq. Ketika kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa al Asy’ari, yakni Gubernur Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata,”Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk kalian, pasti akan aku lakukan,” kemudian beliau berkata: “Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari harta Allah Ta'ala yang akan aku kirimkan kepada Amirul Mukminin. Aku meminjamkannya kepada kalian, untuk kalian belikan sesuau di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota al Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata,”Kami suka (dengan hal) itu,” maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin al Khaththab, agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota al Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar, lantas Umar bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?” Mereka menjawab,”Tidak.” Beliau berkata,”Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin, sehingga ia memberi kalian pinjaman? Kembalikan uang itu beserta keuntungannya.” Adapun ‘Abdullah, hanya terdiam saja, sementara ‘Ubaidillah langsung angkat bicara: “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian, wahai Amirul Mukminin. Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggungjawab,” (Namun) ‘Umar tetap berkata,”Berikan uang itu semuanya.” ‘Abdullah tetap diam, sementara ‘Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara pengawal ‘Umar berkata: “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi, wahai ‘Umar?” 'Umar menjawab,”Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi,” ‘Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, sementara ‘Abdullah dan ‘Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya. Kaum Muslimin sudah terbiasa melakukan kerja sama semacam itu hingga jaman moderen ini, di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun-temurun, dari jaman jahiliyah hingga jaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kemudian Beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya. 2.6 Hikmahnya Islam mensyari’atkan dan membolehkan untuk memberi keringanan kepada manusia. Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya. Dan terkadang ada pula orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syari’at membolehkan muamalah, ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaatnya. Shahib al mal (investor) memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola). Sedangkan mudharib (pengelola) memanfaatkan harta. Maka dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allâh Ta'ala tidak mensyariatkan satu akad, kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. BAB III KESIMPULAN Hal lumrah jika seseorang ingin agar hartanya dapat memiliki nilai tambah. Sehingga seseorang selalu berusaha untuk c ddsmengembangkan harta yang dimilikinya, bisa dengan memutarnya dalam dunia perdagangan, atau pun dengan menanamkan investasi dalam bidang tertentu. Sementara itu, terkadang sebagai pemilik, seseorang tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkannya, sehingga ia membutuhkan orang lain untuk membantunya atau dengan melakukan kerjasama. Disinilah kemudian dibuat kesepahaman dalam pengembangan usaha tersebut, sehingga bisa saling menguntungkan. Salah satu jenis bentuk kerjasama dalam Islam, yaitu apa yang dikenal dengan istilah mudharabah. Oleh sebab itu, mudharabah ini disyariatkan oleh Allâh Ta'ala demi kepentingan kedua belah pihak. Islam mensyariatkan kerja sama mudharabah untuk memudahkan seseorang, karena sebagian mereka memiliki harta, namun tidak mampu mengelolanya. Ada juga seseorang yang tidak memiliki harta, namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka syariat membolehkan adanya kerja sama ini untuk bisa saling mengambil manfaat. Shahib al mal (investor) memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola). Sedangkan mudharib (pengelola) memanfaatkan harta. Maka dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allâh Ta'ala tidak mensyariatkan satu akad, kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Demikian tugas makalah ini kami sampaikan, kurang dan lebihnya dalam penulisan ataupun pemaparan masalah yang ada, kami mohon maaf sebesar-besarnya. Kritk dan saran yang membangun sungguh menjadikan ilmu tambah bagi kami sekelompok. Daftar Pustaka Sayyid Sabiq. 1987. Fiqih Sunnah XIII, Cet: I. PT. Al Ma’arif. Bandung. Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah, Cet: I. Gema Insari dan Tazkia’ Cendekia. Jakarta. http://fsh-uinjkt.net/index.php?option=com_content&view=article&id=177:jaminan-dalam-pembiayaan-mudharabah&mcatid=32:wacana&Itemid=105 Oleh: A. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta) http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=135. Hakikat Mudharabah Oleh: Ustadz Abu Asma’ Kholid Syamhudi. http://id.wikipedia.org/wiki/Mudharabah